Bacharudin Jusuf
Habibie adalah manusia dengan segudang sebutan. Harian
Sinar Harapan menjulukinya
“Lambang abad ke-21”. Majalah AS, Christian Science Monitor menyebutnya
“Lambang Progresivitas Islam”. Julukan Mr. Crack diberikan kalangan scientist
karena B.J. Habibie adalah orang pertama didunia yang menunjukkan cara bagaimana menghitung urutan keretakan pesawat
hingga ke tingkat atom-atomnya (crack propagation on
random).
Kecemerlangannya
ditunjukkan dengan berbagai penemuan dibidang konstruksi pesawat terbang yang
diabadikan dengan namanya: “Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode Habibie”.
Reputasinya dikukuhkan pula dengan penganugrahan Theodore van Karman, hadiah
prestisius untuk dunia dirgantara, pada 1993. Habibie juga dijuluki Big
Spender, karena proyek-proyeknya yang padat teknologi memang mahal dan
menghabiskan anggaran Negara.
Habibie lahir di
Parepare, Sulsel, 25 Juni 1936. Segala keberhasilan diraihnya dengan kerja
keras. Saat berusia 13 tahun, Rudy (nama
panggilannya) ditinggal wafat sang ayah, A.D. Habibie, bekas kepala jawatan
pertanian Sulawesi Selatan. Ibunda Habibie sedang hamil delapan bulan saat itu.
Wanita itu bersumpah disisi jenazah suaminya, bagaimanapun akan menyekolahkan
anak-anaknya. Ibunda Habibie berdagang kecil-kecilan sembari membuka usaha
kos-kosan untuk menafkahi keluarganya.
Habibie pergi ke
Bandung untuk masuk SMP. Ibunya menyusul setelah ia naik kelas dua. Ia berhasil
masuk ke Insitut Teknologi Bandung. Setahun di ITB, atas usaha ibunya, ia
mendapat beasiswa P&K untuk belajar di Jerman Barat. Gelar insinyur mesin
dan konstruksi pesawat terbang diraihnya pada usia 21 tahun. Ia meneruskan
studi dengan biaya sendiri. Waktu lulus, ia adalah orang pertama diluar Jerman
yang membuat skripsi tentang aeronautika. Disertasinya yang berjudul Hypersonic
generic Heatic Thermoelasticity in Hypersonic Spreed membuatnya meraih gelar
doctor.
Mulailah Habibie
berkelana dalam dunia teknologi. Ia sempat bekerja sebagai asisten riset di
Technische Hocheschule (TH) Aachen dan Messerschmitt-Boelkow-Blohm GmBH (MBB)
yang dulu bernama Harburger Flugzeugbau GmBh (HFB), Hamburg, Jerman, sejak
1966-1978. Di MBB, karir puncaknya adalah Wakil Presiden/ Direktur Teknologi.
Reputasi internasionalnya lantas menarik perhatian elite politik di Indonesia.
Presiden Soeharto memanggilnya pulang pada tahun 1974.
Ia kembali ke
Indonesia untuk mempelopori program alih teknologi, yang diawalinya dari sebuah
bengkel pesawat terbang. Bengkel itu diberi nama Lembaga Industri Penerangan
Nurtanio (Lipnur), semula hanya sebuah hanggar usang dengan pesawat penyebar
serbuk buatan Polandia serta beberapa karyawan yang bersemangat. Di bengkel
itulah, sebelumnya Komodor Nurtanio bersama sekelompok mekanik mengadakan
percobaan membuat pesawat terbang kecil – dinamai Si Kumbang, Gelatik, Kuang,
Kopik, dll – dengan peralatan seadanya.
Habibie tidak
sekedar mengubah Lipnur menjadi pabrik pesawat terbang modern bernama Industri
Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Ia juga mengubah mendekatan alih teknologi
dalam industry aeronautika Indonesia. Kalau ilmuan Negara berkembang pada
umumnya harus mempelajari teknologi tingkat dasar dalam pembuatan pesawat
terbang, Habibie langsung melakukan alih teknologi mutakhir. Faktor SDM sudah
dipersiapkan sejak jauh hari. Februari
1969 di Jakarta, ia bersama Sutadi Suparlan direktur pada Direktorat
Jenderal Industri Penerbangan membahas pemberangkatan sarjana Indonesia ke
Jerman untuk belajar membuat pesawat. Sepuluh bulan kemudian, 30 sarjana
Indonesia menimba ilmu di MBB. Ketika ia mulai membangun IPTN, sebagian sarjana
itulah yang membantunya.
Habibie dan IPTN
telah mengubah citra Indonesia dalam hal teknologi dirgantara. Indonesia
menjadi salah satu dari tujuh Negara pembuat pesawat terbang didunia. IPTN
berhasil menjual 173 pesawat CN-235 dan sekitar 125 pesawat N-250.
Selain IPTN,
Habibie juga dipercaya mengelola Proyek Otorita Batam. Secara teknis proyeknya
berhasil, namun tidak mendatangkan keuntungan financial. Itulah sebabnya ia
banyak dikritik.
Selain mendapat
dana APBN, pengembangan IPTN mendapat fasilitas pendanaan dari sumber
non-budgeter seperti Reboisasi. Ketika kritik semakin keras, Habibie harus
mencari alternative lain. Ketika akan menjalankan proyek pembuatan jet
berpenumpang 1000 orang yang diberi nama N-2130 (tahun 1997), ia berusaha
mencari dana pengembangan sebesar US$ 2 mjiliar dengan menjual saham.
Krisis ekonomi
1998 membuat pemerintah, atas desakan IMF, memangkas pendanaan bagi
proyek-proyek mercusuar. IPTN pun terjerembab dan terancam bangkrut.
Selain berkiprah
dibidang teknologi, Habibie juga tercatat bermanuver didunia politik. Jejak suami
Hasri Ainun di dunia politik itu dimulai saat ia terpilih mengetuai Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dibentuk tahun 1990. Banyak pengurus
ICMI yang menjadi menteri atau pejabat. Beberapa pihak mencurigai ICMI
berfungsi sebagai kereta politik Habibie, sekaligus alat Soeharto untuk meredam
gejolak umat Islam.
Nyatanya melalui
ICMI, nama Habibie diperuntungkan dalam kancah politik. Ia ditunjuk Soeharto
sebagai Koordinator harian Dewan Pembina Golkar. Sidang umum MPR Maret 1998
memilihnya sebagai Wakil Presiden menggantikan Jenderal Try Sutrisno. Naiknya bintang
politik Habibie terjadi pada momentum yang tepat. Hanya dua bulan menjabat
Wakil Presiden, krisis ekonomi dan kerusuhan missal memaksa Soeharto meletakkan
jabatan dan menunjuk Habibie menggantikan posisinya. Habibie pun tampil menjadi
Presiden RI pada periode yang paling rawan secara ekonomi maupun politik.
Era kepemimpinan
Habibie ditandai beberapa perkembangan positif dari sudut pandang demokrasi,
misalnya pemberian kebebasan mendirikan partai politik, kebebasan pers, bahkan member
kebebasan rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka atau tetap bergabung dengan
RI. Sesuai hasil referendum, Timtim pun memilih merdeka.
Habibie hanya
menjabat sebagai Presiden selama setahun enam bulan. Bulan Oktober 1999, pertanggungjawaban
habibie sebagai Presiden ditolak MPR. Ia pun mundur dari dunia polotik dan
mendirikan Habibie Center, sebuah lembaga swadaya masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar