Selasa, 03 Juli 2012

Cerpen : Kreeeekk!! Praaaanng!! Byur…

Pilihan pertama : aku dikeluarkan, yang kedua : aku akan mendapat hukuman yang sangat berat–dipertandingkan ke fear factor misalnya, atau ketiga : secara ajaib aku terbebas dari semua ini tanpa hukuman. Sebenarnya ada yang keempat, namun setelah kucubit diriku berulang-ulang, pilihan itu lenyap–aku tidak sedang bermimpi.
Aku benar-benar terjebak disini, mati kutu. Bukan, bukan ditempat yang gelap dan banyak sarang laba-labanya. Tapi ditempat yang terang, nyaman, dan ditemani ribuan kertas dan dokumen–ruang BK.
Justru yang mengerikan itu adalah apa yang akan dan telah terjadi. Alasan aku berada disini : benar-benar konyol! Sama sekali tidak sebanding dengan masalah yang ditimbulkan. Satu perbuatan sederhana, menyebabkan puluhan kasus tak terlupakan.
Memandang guru BK membuatku tertekan, kulayangkan pandanganku menembus jendela. Menerawang kearah sumber dari semua masalah ini.
Bosan, mengantuk–itulah yang terjadi jika tidak terlaksana proses belajar mengajar di kelas. Aku baru akan memejamkan mata ketika sebuah jari mencolek-colek bahuku dan dengan semangat juang menunjuk kearah sebatang pohon jambu air yang sedang ramai diperebutkan. Sebagai generasi pecinta buah lokal, jelas aku harus ambil bagian dalam urusan ini :-p..
Pohon jambu setinggi 3 meter dengan taburan buahnya yang tak ku tahu jumlahnya, sangat menggoda. Makhluk-makhluk aneh bertebaran disetiap dahannya. Salah satu makhluk–emm.. temanku bergumam sebal “aduh, jauh banget sih!”sambil menggapai-gapai buah jambu incarannya.
“Pakai penjolok lah..”saranku.
“Penjoloknya mana?”teriaknya sebal. Tiba-tiba ada yang menyalakan bola lampu dikepalaku. Berlebihan, ini ide yang sangat pasaran. Tanpa basa basi aku mengambil cutter dari tas dan sapu dari balik pintu, mengikatnya dengan tali rafia yang digunakan dipelajaran seni tadi.
Aku bersiap akan menjolok ketika terdengar komentar-komentar seperti ‘ya ampun, segitunya..’, ‘kreatif, kreatif..’ dan ‘parah lo ya!’. Tuli atas segala komentar, aku mencari posisi yang tepat dan mulai menggesek perlahan tangkai buah dengan cutter di ujung sapu.
Yap, jatuh! Komentar terhenti ketika penonton sibuk memperebutkan buah, yang aku sendiri belum sempat mencicipinya. Aku mencoba keberuntungan di dahan lain. Teman-temanku berusaha menyemangati. Agak susah sebenarnya, karena banyak daun dan ranting yang tersebar tak beraturan. Target ditemukan, aku mulai menggesek bak pemain biola. Namun..
Belum sempat tangkai lepas, malah menyangkut ditengah-tengahnya. Walau ku geser keatas, kebawah, kanan, kiri–tak mempan! Ku tarik, buahnya jatuh tapi cutternya terbelit diranting-ranting. Pasrah, sapu dan cutter menggantung begitu saja.
“ayo, tanggung jawab!”teriak seseorang yang tak ku perduli siapa yang bicara. Aku memanjat, berusaha meraih dahannya–namun kelewat jauh. Ku panjat dahan itu dan krek..! ku toleh arah sumber suara. Oh, tidak! Dahan ini akan patah! Segera aku mengungsi ke dahan yang lebih aman. Aku heran, padahal dahan ini besar–namanya juga dahan, bukan ranting. Tapi..
Kreeeeekk..!! dahan itu benar-benar patah dan gawat! Praaaaaanng..!! dahan mendarat persis di kaca sebuah kelas dan memecahkannya. Terdengar berbagai jeritan. Panik! Aku segera turun. Bukan, bukan hendak melarikan diri–jelas tidak mungkin karena banyaknya sanksi mata. Tapi lebih baik ketahuan saat mengaku daripada jelas-jelas tertangkap basah sedang berada dilokasi kejadian. Lebih baik yang mana coba: ‘heh! Ngapain kamu disitu!’ atau ‘mengaku! Siapa yang melakukan ini?’.
Tapi sebelum sempat meraih dahan terendah, aku merasa ada percikan cahaya aneh diwajahku. Namun yang aneh, kakiku lah yang sakit. Jeritan-jeritan itu terdengar lagi. Kakiku mendarat tepat diatas tanah. Aku mendengar seseorang berteriak “mampus kau!”. Namun ada lebih banyak terdengar bisikan-bisikan dan menunjuk-tunjuk.
Ku toleh, kabel putus! Astaga.. apa karena dahannya atau cutternya? Terdengar sorak kemarahan dari suatu kelas di ujung : anak-anak keluar berhamburan dari laboratorium komputer. Uh-oh..
Jeritan lebih ramai lagi dan dalam beberapa detik teman-temanku lenyap ditelan bumi. Awalnya kukira teman-temanku pengecut dan egois karena meninggalkanku sendiri, namun ternyata yang mereka lakukan adalah upaya menyelamatkan nyawa dan anggota tubuh mereka : gerombolan lebah.
Aku tak tahu bagaimana bisa ada namun tak ada waktu untuk berpikir. Lari! Hal spontan yang akan dilakukan semua orang. Yang dapat ku pikirkan hanya air, air! Aku menabrak mobil yang sedang diparkir dan bunyi alarm mobil yang memekakkan telinga–sama sekali tidak membantu.
Aku tak perduli arah, yang kutahu aku harus berlari karena badanku sudah sakit di beberapa tempat. Air ditemukan! Tapi.. itu kubangan bekas banjir tempat dimana penjual kantin membuang berbagai jenis sisa makanan dan sampah. Tak perduli, hantam! Aku langsung menceburkan diri kekubangan tersebut. Byuur…
“jadi, bagaimana?” Tanya guru BK yang tak kutahu namanya, membuyarkan lamunanku.
“emm.. ap,apa? Ba,bagaimana apanya?” tanyaku tergagap. Terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba.
“Pilih mana : fifty-fifty, phone a friend atau ask the audience?”katanya menirukan Tantowi Yahya di acara Want to be a Millionaire dengan sangat bagus.
Hah? Aku masih melamun ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar